Minggu, 21 November 2010

Kamasutra Versi Bugis [ASSIKALAIBINENG]

Subject: Di Mana Pusat Rangsangan Tertinggi [ASSIKALAIBINENG] 
Senin, 22 November 2010 | 04:00 WITA 
 
Sejak pertama kali dipublikasikan Tribun, Rabu (14/1) lalu, 
buku Kamasutra versi Bugis, Assikalabineng, Kitab Persetubuhan Bugis, terus 
dicari. Seluruh kanal dan akses komunikasi ke Tribun, berisi pesan seragam.

Melalui jalur SMS, pertanyaan praktis, "Di mana penjualnya dan berapa 
harganya?".
Via ponsel ada yang memelas, "Tolong kodong, ada sahabatku yang mau menikah. 
Berapa pun harganya, saya akan bayar, ini untuk hadiah".
Bahkan pramuniaga tiga gerai buku Gramedia di Makassar, terpaksa "harus" 
mengecewakan pelanggannya.
Dengan pertimbangan, buku terbitan Ininnawa ini masih dalam proses menunggu 
launching, serta animo pembaca yang membeludak, Kamasutra versi Bugis ini kami 
lanjutkan. Kali ini lebih menukik kepada trik dan tips yang bisa langsung 
digunakan dengan sekali baca. 
 
 ASSAKALABINENG adalah kumpulan manuskrip Lontara asli yang dikumpulkan, 
diterjemahkan, lalu diolah oleh filolog lontara dari Univeritas Hasanuddin 
(Unhas), Muhlis Hadrawi, menjadi bacaan dan pengetahuan yang siap dipraktikkan.
Di bagian awal buku yang didedikasikan sebagai tesis untuk meraih gelar master 
di Universitas Indonesia (UI) ini, penulis menyebutkan ada 44 naskah Lontara 
yang dipakai sebagai rujukan utama.
Sebanyak 28 teks beraksara Bugis dan 16 sisanya manuskrip lontara Makassar. 
"Aksaranya macam-macam, ada sulapa eppa, serang, dan jangang-jangang." (hal.10)
Tak mengherankan, tips, trik, sekaligus mantra yang disajikan pun bervariasi, 
namun pada intinya sama, dan menyesuaikan dengan kultur Bugis pesisir atau 
Makassar pedalaman.
Seperti proses seleksi hadis, penulis memaparkannya utuh dan menganalisanya.
Dalam naskah Bunga Rampai Budaya, yang  berisi, "tata cara mandi junub, sebelum 
melakuklan hubungan seks untuk membangkitkan gairah wanita serta doa-doanya, 
dan tata cara agar awet muda setelah berhubungan seks," misalnya, diperoleh 
dari manuskrip tua 52 halaman yang disalin dari pemilik aslinya, Amiruddin, 
warga Paccerakkang.
Secara teratur buku ini mengklasifikasi titik-titik rangsangan perempuan, 
manfaat mandi sebagai foreplay atau siklus perubahan titik rangsangan wanita 
yang berubah sesuai siklus haid, dan hari di masa subur istri, dan siklus mani 
perempuan yang berpindah-pindah.
Di mana titik mani berada, maka di situlah pusat rangsangan tertinggi, dan akan 
membuat pasangan suami istri menggelinjang, laiknya gerakan pangkal ekor ikan 
mujair di lumpur berair.
"Inilah pengetahuan dari Baginda Ali ketika hendak berhubungan dengan 
Fatimah/Malam jumat dia mencium ubun-ubun sebab di situlah maninya berada/ 
Sabtu dia mencium kepalanya,  sebab di situlah maninya berada/ malam Ahad, Ali 
mencium mata Fatimah sebab di situlah maninya berada/malam Senin diciuminya 
perantara keningnya....//
Di manuskrip lain, disebutkan tujuh titik rangsangan yang menjadi daerah 
sensasi selama peredaran malam; pertama, Ubun-ubun (buwung) di malam Jumat; 
dua, kepala (ulu) di malam Sabtu; ketiga, mata (mata) di malam Ahad; keempat, 
perantara alis (lewa enning) di malam Senin; kelima, hidung (inge') di malam 
Selasa; keenam, buah dada (pangolo) di malam Rabu; dan ketujuh, ulu hati (ulu 
ati) di malam Kamis.
Ketujuh pusat rangsangan itu adalah bagian dari dua belas sensasi seksual 
perempuan.
"Efek rangsangan terbaik bila dilakukan pada rangkaian titik peka itu, diraba, 
lalu selalu diiringi ciuman, sebelum masuk ke tahap penetrasi, yang diikuti 
beberapa mantra dalam bahasa Arab adan Lontara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar